SLIDE

8/7/11

Asal Usul Desa Rumoong Atas

Pada sekitar abad 17 (1625 – 1675) berturut-turut berdatanganlah orang-orang yang dipimpin oleh Dotu Moutang, Lonsu dan Tumewang ke wilayah Desa Lansot. Oleh penduduk desa Lansot pada saat itu menerima dengan baik kedatangan mereka, dan sesuai dengan adat istiadat/tradisi bahwa penduduk desa lain yang datang kemudian, tidak dapat menempati daerah atau lahan yang telah dihuni dan dikelola oleh penduduk setempat. Seperti biasanya terhadap pendatang-pendatang terdahulu, penduduk desa Lansot menyediakan tempat untuk mendirikan pemukiman dan menetap di daerah sekitar pohon Lowian, karena tempat tersebut khususnya bagian barat pohon Lowian, tidak dijadikan lahan garapan oleh penduduk desa Lansot. Dotu Moutang inilah yang dianggap sebagai dotu penduduk Rumoong Atas.
Pemukiman yang dibangun oleh penduduk pendatang itu dinamakan Lowian sesuai dengan nama pohon yang tumbuh ditempat tersebut. Sedangkan orang-orang yang datang bertambah itu oleh penduduk desa Lansot menyebut mereka dengan istilah “Rumoang” yang artinya orang yang datang bertambah pada suatu tempat yang sudah didiami oleh orang lain.
Karena istilah rumoang sering dipakai oleh penduduk desa Lansot, maka lama kelamaan nama kampung Lowian berubah menjadi kampung Rumoang. Nama Rumoang sebagai nama kampung dari penduduk lowian ini dipakai hingga tahun 1942 di masa Jepang mulai menjajah dan masuk di tanah Minahasa. Pada waktu penjajahan Jepang (1942 – 1945) tersebut, papan nama kampung Rumoang ditulis menjadi ‘Rumoon’ karena dipengaruhi oleh dialek bahasa Jepang. Setelah Indonesia merdeka, kata ‘Rumoon’ ini akhirnya tetap dijadikan sebagai nama kampung menggantikan nama Rumoang. Agar kata Rumoon ini mengandung arti, maka kata ini disesuaikan dengan bahasa Tountemboan menjadi Rumoongyang berarti “mendirikan kampung”. Untuk membedakan Desa Rumoong yang ada di pegunungan dengan desa Rumoong yang ada di pesisir laut wilayah Amurang, maka Rumoong (Tareran) disebut Rumoong Atas dan Rumoong (Amurang) disebut Rumoong Bawah. Itulah cikal bakal kampung Rumoong Atas sekarang ini.

Referensi:Buku “DESA LANSOT - Asal usul Dan Perkembangannya”
Oleh:Drs. Sonny V.H. Prang
Baca Selengkapnya... - Asal Usul Desa Rumoong Atas

7/17/11

Asal-usul Desa Lansot

Asal-usul Desa Lansot berawal dari perjalanan sekelompok penduduk yang berasal dari perkampungan Kiawa (Tongkibut), untuk mencari pemukiman baru yang dipimpin oleh Dotu Seke’, Pisek dan Ma’abe pada sekitar tahun 1555 hingga 1560.
Dalam perjalanan mencari pemukiman baru mereka menemukan sebuah aliran sungai besar (nimanga), mereka percaya bahwa dengan menyusuri ke arah hulu sungai, mereka akan menemukan asal / sumber air yang mengalir yang berarti bahwa tanah itu subur.
Pada suatu waktu mereka menemukan sebuah aliran sungai kecil (Tu’unan) yang bermuara di sungai tersebut, mereka memutuskan untuk berjalan menyusuri sungai kecil itu dengan harapan bahwa daerah yang mereka idam-idamkan semakin dekat. Suatu hari mereka tiba di suatu tempat (bagian timur laut jembatan Tu’unan sekarang) yang merupakan daerah daerah yang cukup baik untuk dijadikan pemukiman sementara, di daerah itu juga terdapat sungai kecil lainnya (memea’) yang airnya sangat jernih untuk dijadikan air minum yang mengalir ke sungai yang mereka telusuri itu. Mereka memutuskan untuk tinggal tak jauh dari kedua sungai tersebut hingga mereka menemukan daerah yang lebih cocok untuk pemukiman mereka.
Tak berapa lama mereka bermukim di tempat itu, penduduk ditimpa bencana sakit penyakit yang berupa gatal-gatal di sekujur tubuh sehingga mengkibatkan penderitaan. Untuk mencari penyebab dan jalan keluar dari musibah tersebut, para dotu melakukan upacara / ritual yang dipimpin oleh seorang Walian untuk meminta petunjuk kepada Opo Walian Wangko. Setelah upacara / ritual dilakukan, para dotu berpendapat bahwa ‘air’ merupakan pencuci segala yang kotor termasuk sakit penyakit. Oleh sebab itu penduduk diharuskan untuk mencari tempat pemukiman baru dengan menyeberangi sungai Tu’unan dan mandi di sungai tersebut agar mereka terhindar dari musibah.
Akhirnya diputuskan untuk mencari pemukiman baru, sebagian penduduk memisahkan diri dan pergi kearah selatan daratan tareran, sedangkan yang lainnya dibawah pimpinan Dotu Seke’, Pisek dan Ma’abe memutuskan untuk menyeberangi sungai dan tiba di suatu aliran sungai kecil yang berair sejuk dan jernih. Mereka memutuskan untuk mandi di sungai kecil itu dan membersihkan segala kotoran sakit penyakit sesuai petunjuk dari para dotu. Daerah tempat air mengalir tersebut kemudian dinamakan “Kelembung”, nama yang diambil dari sejenis pohon yang getahnya sangat gatal dan menimbulkan luka apabila terkena kulit (penduduk lansot menyebutnya pohon kelemur), pemberian nama ini sebgai peringatan bahwa aliran sungai di daerah ini dugunakan untuk membersihkan penyakit yang menyerang tubuh mereka.

Dalam perjalanan melintasi dan menyusuri hutan, tak lama kemudian mereka tiba di suatu tempat dimana terdengar banyak kicauan burung juga terdapat sumber mata air yang dapat diminum, sumber air tersebut kemudian dinamakan Rano Lansot yang berarti Air Lansat, melihat keadaan lokasi yang baik untuk pemukiman dengan daerah yang subur dan ramai oleh kicauan burung, maka para dotu menetapkan daerah tersebut akan dijadikan tempat pemukiman yang baru.
Sebelum membuka perkampungan baru , sesuai kepercayaan penduduk maka dilakukan ritual keagamaan untuk meminta izin kepada opo-opo yang mendiami daerah tersebut dan meminta restu dari Opo Kasuruan Wangko yang dipercaya sebagai Pencipta Langit dan Bumi, agar diperkenankan bagi penduduk untuk membuka pemukiman. Setelah upacara dilakukan, mereka kemudian menancapkan batu (Tumutoa) ditengah-tengah lokasi sebagai tanda bahwa lokasi tersebut telah direstui untuk mendirikan kampung baru. Untuk menentukan nama yang akan diberikan maka mereka mengadakan musyawarah, namun sepanjang musyawarah berlangsung, para Tonaas/Dotu belum juga mencapai kata sepakat mengenai nama kampung yang akan mereka dirikan. Pada saat musyawarah sedang berlangsung tiba-tiba jatuh buah Lansat tepat ditengah-tengah mereka, saat itu para dotu teringat bahwa mereka memilih tempat ini sebagai pemukiman baru karena mereka melihat banyak sekali burung yang berkicau dengan merdu dan enak didengar yang menjadi petunjuk untuk mendirikan pemukiman. Ternyata burung-burung tersebut sedang bergembira sambil memakan buah Lansat/Lansot yang lagi musim berbuah.
Dari peristiwa tersebut akhirnya disepakati bahwa kampung yang akan didirikan dinamakan “Lansot” yang diambil dari nama buah yang jatuh dan tumbuh disekitar tempat tersebut. Itulah asal usul nama Lansot sebagai nama desa hingga sekarang ini. Begitupun dengan sumber air yang mereka temukan pertama itu dinamakan “Rano Lansot” karena berada di daerah yang ditumbuhi oleh pohon Lansat.
Lebih dari seabad penduduk menetap didaerah ini yang diperkirakan awal berdirinya Desa Lansot sekitar tahun 1560 Masehi dan ditempati oleh penduduk mula-mula hingga tahun 1650 Masehi. Tetapi pada akhir abad 17, penduduk Desa Lansot yaitu anak – cucu penduduk Desa Lansot mula-mula mulai berpindah keatas bukit sebelah utara dari perkampungan lama yaitu disebelah timur pohon Lowian..

Referensi    :    Buku “DESA LANSOT - Asal usul Dan Perkembangannya”
Oleh    :    Drs. Sonny V.H. Prang
Baca Selengkapnya... - Asal-usul Desa Lansot

7/6/11

Arti Fam / Marga Orang Minahasa




Abutan = pembersih

Adam = tenang

Agou = anoa

Akai = penjaga

Aling = pembawa

Alui = pelipur lara

Amoi = teman sekerja

Andu = tempat bersenang

Anes = tempat bersenang

Angkouw = keemasan

Anis = penghalau

Antou = nama kembang

Arina = tiang tengah

Assah = pembuka jalan

Awondatu = yang dikehendaki

Awui = senang

Batas = pemutus

Bella = pasukan

Bokau = bibit emas

Bokong = mengikat

Bolang = penangkap ikan

Bolung = perisai

Bororing = pembuat roreng

Boyoh = pendamai

Buyung = penurut

Damongilala = benteng

Damopoli = jujur dan adil

Dapu = mematahkan

Datu = pemimpin

Datumbanua = kepala walak

Dayoh = karunia

Dededaka = panah lidi hitam

Dendeng = suara yang terang

Dengah = hakim

Dewat = menyeberangi

Dien = dihiasi

Dimpudus = cerdik kepalanya

Dipan = ukuran depa

Dompis = pekerja baik

Dondo = prinsip

Dondokambei = prinsip tetap

Donsu = jimat penolak

Doodoh = penggerak

Doringin = penari

Dotulong = pahlawan besar

Dumais = menggenapi

Dumanauw = pemenang

Dumbi = didepan

Dungus = berkedudukan

Dusaw = pembuka

Egam = menjaga

Egetan = lonceng kecil

Ekel = lirikan

Elean = arah barat

Eman = dipercaya

Emor = lengkap

Endei = dekat

Engka = pegang

Enoch = pilihan

Ering = kurang besar

Ganda = bambu besar

Gerung = bunga ukiran

Gerungan = bunga-bunga ukiran

Gigir = mengikis rata

Gimon = rupa yang indah

Girot = pemutus

Goni = cerdik

Goniwala = cerdik akal

Gonta = langkah

Gosal = timbunan

Gumalag = menanduk

Gumansing = pembujuk

Gumion = pegangan

Ilat = menunggu

Imbar = yang dibuang

Inarai = baju jimat

Ingkiriwang = dari angkasa

Inolatan = pegang tangan

Intama = pembawa

Item = hitam

Kaat = penglihatan

Kaawoan = mampu kerja

Kaendo = teman mapalus

Kaeng = sempit

Kaes = menyiram

Kainde = ditakuti

Kairupan = kekuatan

Kalalo = amat berani

Kalangi = dari langit

Kalempou = mengunjungi

Kalempouw = kawan baik

Kalengkongan = tepat berjatuhan

Kalesaran = pusat segala usaha

Kalici = mempesona

Kaligis = sama keluarga

Kalitow = tertinggi

Kaloh = sahabat setia

Kalonta = perisai kayu

Kalumata = pedang perang

Kamagi = bunga hias

Kambey = bunga hias

Kambong = obor

Kamu = pegang teguh

Kandio = amat kecil berarti

Kandou = bintang pagi

Kapantouw = pembuat

Kaparang = pandai mengukir

Kapele = amat tegas

Kapoh = pemuja

Kapoyos = dukun pijat

Karamoy = penunjuk

Karau = antara

Karinda = kawan serumah

Karundeng = pengusut

Karuyan = di kejauhan

Karwur = subur

Kasenda = kawan sehidangan

Katopo = keturunan opo

Katuuk = pemegang rahasia

Kaunang = cerdik

Kawatu = pendirian teguh

Kawengian = bintang sore

Kawilarang = diatas terbuka

Kawulusan = benteng

Kawung = tersusun keatas

Kawuwung = berkelebihan

Keincem = penyimpan rahasia

Kekung = pedang perisai

Keles = bayi

Kelung = perisah

Kembal = agak lemah

Kembau = kurang kuat

Kembuan = sumber

Kenap = genapkan

Kepel = penakluk

Kerap = seiring

Kere = testa

Kesek = penuh sesak

Kewas = tumbuhan

Khodong = kecil, menentukan

Kilapong = batu kilat

Kindangen = yang diberkati

Kirangen = dimalui

Kiroiyan = pengembara

Kodongan = mengecil

Kojongian = penggeleng kepala

Koleangan = pemain

Kolibu = banyak bekerja

Koloday = saudara lelaki

Koly = suka kerja

Komaling = pembawa

Komaling = penghormat

Kondoi = lurus kedudukannya

Kontul = kerja sendiri

Kopalit = pendamai

Koraah = suka panas matahari

Korah = suka panas matahari

Korengkeng = penakluk

Korompis = hasil kerja yang baik

Koropitan = penghukum

Korouw = perkasa

Korua = membagi dua

Kotambunan = penimbun

Kountud = kerja sendiri

Kowaas = penggemar barang kuno

Kowonbon = tahan uji

Kowu = penempah

Kowulur = ke gunung

Koyansouw = pengipas

Kuhu = menampakkan

Kulit = kecukupan

Kullit = cukup

Kumaat = melihat

Kumaunang = penyelidik cerdik

Kumayas = membongkar

Kumendong = pengumpul tenaga

Kumolontang = melompat keliling

Kumontoy = lurus hati

Kupon = diharapkan

Kusen = penutup

Kusoi = cerdik

Lala = berjalan

Lalamentik = semut api

Lalowang = perlumba

Lalu = pendesak

Laluyan = melintasi

Lambogia = paras jernih

Lampah = tak seimbang

Lampus = tembus

Lanes = kurang semangat

Langelo = menapis

Langi = tinggi

Langitan = tinggian

Langkai = dihormati

Languyu = tanpa tujuan

Lantang = berharga

Lantu = penentu

Laoh = manis

Lapian = teladan

Lasut = pemikir cerdas

Legi = menipis

Legoh = penelan manis pahit

Lembong = pembalas budi

Lempas = kedudukan

Lempou = kunjungan

Lengkey = dimuliakan

Lengkoan = penghalang

Lengkong = pendidik

Lensun = diharapkan

Leong = main

Lepar = tujuan

Lesar = halaman

Lewu = tersendiri

Liando = penimbang

Limbat = berganti

Limbong = ingat budi

Limpele = penurut

Lincewas = tumbuhan obat

Lintang = bunyi-bunyian

Lintong = pusat persoalan

Liogu = jernih

Litow = tinggi

Liu = bijaksana

Liwe = air mata

Loho = perindu

Loing = pengawas

Lolombulan = bulan purnama

Lolong = bulan

Lomboan = lemparan keatas

Lompoliu = pengajar

Lonan = ramah

Londa = perahu

Londok = tinggi

Longdong = penjaga

Lontaan = pembuka jalan

Lontoh = tinggi keatas

Losung = pendesak

Lowai = bayi lelaki

Lowing = mengawasi

Ludong = kepala negeri

Lumanau = biasa berenang

Lumangkun = penyimpan rahasia

Lumatau = berpengetahuan

Lumempouw = meliwati

Lumenta = terbit

Lumentut = bukti

Lumi = meminggir

Lumingas = membersihkan

Lumingkewas = tepat dlm segala hal

Lumintang = menunggalkan

Luminuut = berpeluh

Lumoindong = melindungi

Lumondong = berlindung

Lumowa = meliwati

Lumunon = muka bercahaya

Luntungan = memiliki jambul

Lutulung = penolong

Maengkom = penakluk

Maengkong = mendidik

Mailangkai = yang ditinggikan

Mailoor = disenangi

Maindoka = kecukupan

Mainsouw = bersaudara 9

Mait = obat pahit

Makadada = memuaskan

Makal = penutup lubang

Makaley = melindungi/menutup

Makaliwe = air mata

Makangares = mengharap

Makaoron = mengulung musuh

Makarawis = puncak gunung

Makarawung = tinggi usaha

Makatuuk = hidup sentosa

Makawalang = orang kaya

Makawulur = dihormati

Makiolol = selalu ikut

Makisanti = dengan pedang

Malingkas = tetap berada

Mamahit = dukun obat pahit

Mamangkey = pengangkat

Mamantouw = penubuat

Mamanua = pembuka negeri

Mamarimbing = pemberi kesuburan

Mamba = ditetapkan

Mambo = penetapan

Mambu = pemberi supa

Mamengko = pemberi teka-teki

Mamentu = pemberi rasa

Mamesah = pembuka rahasia

Mamoto = penjelasan

Mamuaya = pemberi

Mamuntu = mencapai puncak

Mamusung = penangkal

Manalu = ditingkatkan

Manampiring = membuat jalan

Manangkod = menahan musuh

Manapa = pertanyaan

Manarisip = membetulkan

Manaroinsong = sumber air

Manayang = pergi jauh

Mandagi = menghiasi bunga

Mandang = melambung tinggi

Mandey = pandai

Manebu = dewa peninjau

Manese = bertindak dahulu

Mangare = minta dibujuk

Mangempis = merendahkan diri

Mangindaan = tahan uji

Mangkey = angkat

Mangowal = pemancung

Mangundap = berbahaya

Manimporok = ke puncak

Manopo = bersama datuk (opo)

Manorek = mengganggu

Mantik = meneliti/menulis

Mantiri = pembuat benda halus

Mantoauw = nubuat

Manua = negeri

Manurip = menyisip

Manus = taruhan

Mapaliey = menakuti musuh

Maramis = menggenapi

Marentek = tukang besi

Maringka = berkekuatan

Masie = tumbuhan obat

Masinambau = tujuan pasti

Masing = bergaram

Masoko = pokok

Matindas = ramping

Maukar = menjaga

Mawei = pembimbing

Maweru = pembaharu

Mawikere = teladan

Mawuntu = kedudukan tinggi

Mekel = lindungi

Mema = berbuat

Mende = pemalu

Mendur = berguntur

Mengko = teka-teki

Mentang = pemutus

Mentu = rasa

Mesak = pendesak

Mewengkang = pembuka jalan

Mewoh = lemah lembut

Mince = main

Mincelungan = main perisai

Minder = menderu

Mingkid = pemberi acuan/konsep

Mogot = penebus

Mokalu = bersaudara

Mokolensang = berdiam diri

Mokorimban = pemberani

Momongan = pemilik

Momor = persatuan yang baik

Momuat = pengurus jamuan

Mondigir = meratakan

Mondong = menyembunyikan

Mondoringin = meratakan jalan

Mondou = berangkat pagi

Mongi = kuat kekar

Mongilala = pengusir musuh

Mongisidi = saksi dan bukti

Mongkaren = membongkar

Mongkau = mencari emas

Mongkol = mematung

Mongula = pemohon berkat

Moniaga = kebesaran

Moninca = pembuah ramai

Moningka = penambah tenaga

Moniung = menangis kecil

Mononimbar = suka memberi

Mononutu = pekerja tekun

Montolalu = pembagi tugas

Montong = pembawa

Montung = pengangkat

Motto = jelas

Muaya = berani

Mudeng = berdengung jauh

Mukuan = mempunyai buku

Mumek = penyelidik

Mumu = simpanan cukup

Mundung = bernaung

Muntu = gunung

Muntu untu = gunung bersusun

Muntuan = ke gunung

Musak = didesak

Mussu = penjaga setia

Nangka = diangkat

Nangon = diangkat

Nangoy = dipikul

Naray = jimat

Nayoan = diberi berkat

Nelwan = tempat terbang

Nender = gerakan

Ngala = dirintangi

Ngangi = di hati

Ngantung = ditimbulkan

Ngayouw = dimajukan

Ngion = diperoleh

Ogi = goyang

Ogot = hakimi

Ogotan = kena dendam

Oleng = pikulan

Oley = teladan

Ombeng = kelebihan

Ombu = cetakan rupa

Ompi = tertutuo

Ondang = pedang

Onsu = jimat

Opit = jepitan

Oroh = perselisihan

Otay = bertawakal

Paat = pengangkat

Pai = besar

Paila = cukup besar

Pakasi = pemberian

Palangiten = sinar matahari

Palar = tapak tangan

Palenewen = dibenamkan

Palenteng = peniup

Palilingan = nasehat baik

Palit = bekas luka

Panambunan = timbunan besar

Panda = pinter

Pandean = amat pandai

Pandelaki = pemegang bibit

Pandey = pinter, pandai

Pandi = penghancur

Pandong = tenaga kuat

Pangalila = berlebihan

Pangau = jauh kedalam

Pangemanan = dipercaya

Pangila = berlebihan

Pangkerego = suara nyaring

Pangkey = diangkat

Pantonuwu = tegas

Pantouw = penolong bijaksana

Parengkuan = kepala jimat

Paruntu = tempat ketinggian

Paseki = pengikat

Pasla = tepat tujuan

Pauner = tengah

Pele = jimat

Pelengkahu = emas tulen

Pendang = pengajar

Pepah = lemah lembut

Pesik = pancaran bara

Pesot = cekatan

Piay = biasa

Pinangkaan = tempat yang tinggi

Pinantik = ditulis

Pinaria = hubungan erat

Pinontoan = menunggu

Pioh = cucu

Piri = semua satu

Pitong = memungut

Pitoy = diikuti

Podung = dijunjung

Pola = pengajak

Poli = tempat suci

Polii = pelita

Polimpong = didewakan

Politon = gembira selalu

Poluakan = air berkumpul

Pomantouw = penubuat

Ponamon = pengasih

Pondaag = pendamai

Pongayouw = penghulu perang

Ponggawa = pemberani

Pongilatan = berkilat

Pongoh = berisi padat

Ponosingon = terbang

Pontoan = menunggu

Pontoan = menunggu

Pontoh = pendek

Pontororing = bercahaya

Poraweouw = penunjukan

Porayouw = perenang

Porong = tudung kepala

Posumah = pembagi

Potu = tekun

Poyouw = yang diberikan

Pua = buah

Pungus = pengawas

Punuh = orang terdahulu

Purukan = punya kedudukan

Pusung = penangkal serangan

Putong = penyelidik

Raintung = daun bergerigi

Rambi = bunyi merdu

Rambing = bunyi suara merdu

Rambitan = tambahan bunyi

Rampangilei = kembar bersih

Rampen = kelebihan

Rampengan = berkelebihan

Ransun = bawang

Ranti = pedang

Rantung = terapung

Raranta = naik tangga

Rares = sehat

Rarun = sudah tua

Rasu = penyimpan

Ratag = terlepas

Ratu = batu jumat

Ratulangi = jimat dari langit

Ratumbuisang = batu berbintik

Ratuwalangaouw = batu berantai

Ratuwalangon = batu panjang

Ratuwandang = batu merah

Rau = jauh

Rauta = dewata

Regar = bebas

Rei = bebas celaka

Rembang = burung rawa

Rembet = berpegang teguh

Rempas = memasak

Rengku = tundukan

Rengkuan = ditunduki

Rengkung = dihormati

Repi = pemikir

Retor = penghalang

Rimper = potong rata

Rindengan = bergerigi

Rindengan = sama-sama

Rindo-rindo = suara gemuruh

Robot = lebih

Rogahang = berkeringat

Rogi = banyak bicara

Rolangon = berantai

Rolos = kepala

Rombot = dilebihi

Rompas = penyimpan rahasia

Rompis = pekerja baik/rukun

Rondo = lurus

Rondonuwu = bicara lurus

Rooro = penggerak

Rori = dihormati

Rorimpandey = sempurna

Roring = kemuliaan

Rorintulus = cahaya

Rosok = tepat

Ruaw = bulan purnama

Ruidengan = bersama

Rumagit = menyambar

Rumambi = membunyikan

Rumampen = jadi satu

Rumampuk = memutuskan

Rumayar = mengibarkan

Rumbay = tidak perduli

Rumende = mendekati

Rumengan = sejaman

Rumenser = tetesan air

Rumimpunu = yang dimuka

Rumincap = berhati baik

Rumokoy = membangunkan

Rumpesak = kedudukan

Runturambi = kehormatan

Salangka = benda persembahan

Salendu = banyak ide

Sambouw = bunga kayu

Sambuaga = bunga kayu cempaka

Sambul = berlimpah

Sambur = melimpah

Samola = membesar

Sangkaeng = paras kecil

Sangkal = satu paras

Sarapung = perkasa

Saraun = sepintas remaja

Sarayar = buka jemuran

Sariowan = pelancong

Sarundayang = pengiring

Saul = lengah

Seke = perorangan

Seko = sentakan

Sembel = penuh

Sembung = bunga

Semeke = tertawa

Senduk = senang

Sengke = guling

Sengkey = pengguling

Senouw = cepat

Sepang = cabang jalan

Sigar = kaya

Sigarlaki = kekayaan

Simbar = terbuang

Simbawa = banyak kemauan

Sinaulan = penasehat

Singal = perintang musuh

Singkoh = dibatasi

Sinolungan = memprakarsai

Sirang = potongan

Siwu = penghancur musuh

Siwy = siulan

Solang = pedang

Somba = pelindung

Sompi = penyimpan rahasia

Sompotan = meluputkan

Sondakh = pengawas

Soputan = letusan

Sorongan = bergeser

Suak = kepala

Sualang = karunia

Suatan = pengharapan

Sumaiku = panjang idenya

Sumakud = menewaskan

Sumakul = menewaskan

Sumangkud = terikat

Sumanti = mempergunakan

Sumarandak = gemerincing

Sumarauw = pendidik

Sumele = pembatas

Sumendap = menyinari

Sumesei = pengawas

Sumilat = mengangkat

Sumlang = main pedang

Sumolang = memainkan pedang

Sumual = memiliki kelebihan

Sumuan = mengesahkan

Sundah = tidak menetap

Sungkudon = buah persembahan

Suot = puas

Supit = menjepit musuh

Surentu = banyak bicara

Suwu = serbu

Taas = kuat

Tairas = terangkat dari dalam

Talumepa = berjalan didaratan

Talumewo = perusak

Tambahani = senang bersih

Tambalean = menuju barat

Tambarici = dibelakang

Tambariki = dibelakang

Tambayong = gemar kekayaan

Tambengi = amat cepat

Tambingon = keliling

Tamboto = menghias kepala

Tambun = timbun

Tambunan = timbunan

Tambuntuan = puncak tinggi

Tambuwun = menandingi

Tamon = disayangi

Tampa = bunga

Tampanatu = bunga api

Tampanguma = bunga mekar

Tampemawa = turun kelembah

Tampemawa = turun kelembah

Tampenawas = memotong daun

Tampi = setia

Tampinongkol = suka berkelahi

Tandayu = pemuji

Tangka = amat tinggi

Tangkere = teladan

Tangkow = nyanyian

Tangkudung = perisai pelindung

Tangkulung = perisai pelinding

Tanod = tambu

Tanor = tambur

Tanos = teratur

Tarandung = jalan

Taroreh = diangkat

Taulu = dijunjung

Tawas = penawar mujarab

Tendean = tempat berpijak

Tengges = tempat memasak

Tenggor = menghilang

Tengker = bergemuruh

Terok = pedagang keliling

Tidayoh = senang dihormati

Tiendas = berkurang

Tikoalu = penakluk

Tikonuwu = pandai bicara

Tilaar = kerinduan

Timbuleng = pemikul

Timpal = persekutuan

Tinangon = terangkat

Tindengen = pemalu

Tintingon = melambung

Tirayoh = senang dihormati

Tiwa = menaiki puncak

Tiwow = berniat

Toalu = didepan

Todar = bertahan

Togas = pantang surut

Tololiu = penghambat

Tombeng = secepat angin

Tombokan = berkelebihan

Tombokan = pemukul akhir

Tompodung = dijunjung

Tompunu = membuyarkan musuh

Tongkeles = percepat

Tooi = pengikut

Torar = biasa matahari

Torek = berkekurangan

Towo = dari atas

Tuegeh = tumpukan

Tuera = perintah

Tulandi = pemecah batu

Tular = penasehat

Tulenan = tetap tolong

Tulung = pandai menolong

Tulus = penengah

Tulusan = menengahi

Tumanduk = pelindung

Tumangkeng = merombak

Tumatar = kebiasaan

Tumbei = berkat

Tumbelaka = diberkati

Tumbol = penopang

Tumbuan = kaya

Tumembouw = berteman

Tumengkol = penahan

Tumewu = melenyapkan

Tumilaar = yang dirindukan

Tumilesar = telentang

Tumimomor = tempat yang baik

Tumiwa = ingatan

Tumiwang = mengingat

Tumober = hadiah

Tumondo = tujuan pasti

Tumonggor = disiapkan

Tumundo = pembawa terang

Tumurang = pemberi bibit

Tumuyu = yang dituju

Tunas = asli

Tundalangi = tatapan dari langit

Tungka = terangkat

Turang = menopang

Turangan = berkelebihan

Tuwaidan = lengkap

Tuyu = penunjuk

Tuyuwale = menuju rumah

Uguy = pembawa rejeki

Ukus = kurang gemuk

Ulaan = ditakuti

Umbas = kuat bersih

Umboh = penolak bahaya

Umpel = menyenangkan

Undap = cahaya sinar

Unsulangi = diatas

Untu = gunung

Waani = pahlawan

Wagei = tertarik

Wagiu = cantik/rupawan

Waha = bara api

Wahon = moga-moga

Wakari = teman serumah

Wala = cahaya

Walalangi = cahaya dari langit

Walanda = cahaya berlalu

Walandouw = cahaya siang

Walangitan = cahaya kilat

Walean = komplek rumah

Walebangko = rumah besar

Walelang = rumah tinggi

Waleleng = rumah tersendiri

Walian = dukun

Walintukan = taufan

Waluyan = lewat

Wanei = prajurit

Wangania = buat sekarang

Wangko = besar

Wantah = patokan

Wantania = patokan tetap

Wantasen = yang jadi patokan

Wariki = pendidik

Watah = berani

Watti = nubut

Watugigir = batu licin

Watuna = biji bersih

Watung = timbul terus

Watupongoh = teguh

Waturandang = batu merah

Watuseke = berani

Wauran = cabut pilihan

Wawoh = ketinggian

Wawointama = cita-cita tinggi

Wawolangi = di ketinggian

Wawolumaya = diatas puncak

Waworuntu = diatas gunung

Weku = penasehat

Welong = kurang daya

Welong = pemikul

Wenas = penyembuh

Wenur = persembahan

Weol = penasehat

Wetik = berperan

Wilar = pembuka

Winerungan = menghiasi

Winokan = men coba

Woimbon = bercahaya

Wokas = penyelidik

Wola = cahaya

Wondal = jimat

Wongkar = membangun

Wonok = peruntuk

Wonte = kuat teguh

Wooy = hujan rahmat

Worang = kuat ikatan

Worotikan = pancarana api

Wotulo = pembersih

Wowilang = pendorong

Wowor = obat kesohor

Wuisan = pengusir

Wuisang = mengusir

Wulur = puncak

Wungkana = gelang jimat

Wungow = bicara seenaknya

Wuntu = gunung

Wurangian = pemarah

Wuwung = kelebihan

Wuwungan = diatas atap


Baca Selengkapnya... - Arti Fam / Marga Orang Minahasa

7/4/11

Garis Waktu Sejarah Minahasa

Sejarah Garis Waktu

(4 juta tahun SM)
Indonesia sudah ada sejak masa Pleistocene ketika dihubungkan dengan daratan Asia sekarang

500.000 SM
Manusia Java (Homo Erectus) ditemukan di Jawa Timur
Penduduk kepulauan Indonesia sebelumnya berasal dari India atau Burma

3000 SM
Migrant (orang Malayu) datang dari Cina Selatan dan Indocina, dan mereka mulai mendiami kepulauan

670
Sulawesi Utara tidak pernah membangun kekaisaran besar.
Di Sulawesi Utara pemimpin-pemimpin dari suku-suku yang berbeda, yang sama sekali bebicara bahasa yang berbeda, bertemu di batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Disana mereka mendirikan perhimpunan negara yang merdeka, yang akan membentuk satu kesatuan dan tinggal bersama dan akan memerangi musuh manapun dari luar jika mereka diserang

800
Kekaisaran Budha Sriwijaya dan Kerajaan Hindu Mataram muncul di Jawa dan Sumatra

900
Keberadaan peradaban kuno di Sulawesi Utara bisa jadi berasal dari adanya batu pertama sarcophagi yang disebut Waruga


1200
Pedagang Muslim dari Gujarat dan Persia mulai mengunjungi Indonesia dan mendirikan hubungan perdagangan antara negara ini dan India dan Persia.
Sepanjang perdagangan, mereka menyebarkan agama Islam diantara orang Indonesia, terutama sepanjang daerah pantai Jawa, seperti Demak

1292
Kaisar Cina memberangkatkan banyak espedisi barang rongsokan ke Malaka, Jawa dan Maluku pada tahun 1292 - 1293. Ekspedisi Cina tersebut dilakukan untuk berperang atau untuk maksud berdagang. Ketika berdagang, kapal layar barang rongsokan ini membawa porselen keramik ke Minahasa. Mereka membawa keramik-keramik tersebut untuk ditukarkan dengan beras

1293
Permulaan Kerajaan Majapahit

1335
Sekarang pemimpin-pemimpin penting dari suku Minahasa dikubur di sarcophagi, nisan yang berdiri, yang dinamakan Waruga

1380
Jalur perdagangan Cina diikuti oleh pedagang-pedagand dari Arab. Salah seorang pedagang dari Arab, Sharif Makdon, pada tahun 1380, melakukan perdagangan dari Ternate, Wenang (sekarang Manado) dan lalu ke Philipina Selatan. Selain berdagang, pedagang-pedagang dari Arab ini melakukan penyebaran agama Islam di antara suku Manarouw Mangindanouw.

Source:    http://www.theminahasa.net/
Baca Selengkapnya... - Garis Waktu Sejarah Minahasa

Cerita Rakyat - Toar Lumimuut

Cerita Toar Lumimuut Terdapat dalam berbagai versi, salah satunya versi di bawah ini...

Pada mulanya ada sekelompok orang (pelaut) yang tidak jelas asalnya mendarat disebelah barat tanah Malesung. Pemimpin kelompok orang itu bernama Sumilang yang bergelar Ratu. Dalam kelompok orang tersebut juga terdapat perempuan tua benama Karema sebagai seorang Imam. Karema mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Lumimuut.
Di tanah Malesung, mereka mendiami suatu dataran tinggi tepatnya diantara gunung Lokon, Kasaha, dan Tatawiran Kota Tomohon sekarang. Dalam doa dengan bahasa Tombulu mereka meminta agar ditibakan pada ketiga gunung tempat mereka bisa lanjut umur dan sejahtera. Doanya yakni : “Iayo-ayo kai wana se lokontelu katu’a’an wo kalawiran nai”. Artinya : “ Tibakanlah Kami pada ketiga gunung tempat Kami lanjut umur dan sejahtera”.
Ratu Sumilang dan Imam Karema beserta para pengikutnya membuat pondok tempat tinggal di Mahwatu Tu’ur intana, artinya ditempat banyak pohon Mahwatu dipangkal tanah, yakni dataran ditengah-tengah ketiga gunung tadi. Mereka lebih memilih lokasi itu karena dapat langsung melihat ke arah laut supaya selalu waspada jangan-jangan ada perampok datang. Lokasi yang tinggi itu adalah diatas hulu sungai Makalesung, yaitu anak sungai Ranowangko yang bermuara di Tana’wangko, artinya tanah besar.
Dari Mahwatu Tu’urzintana, Ratu Sumilang dan Karema mengajak para pengikutnya untuk berpindah ke timur di sekitar mata air besar Wailan dekat kaki gunung Lokon sebelah tenggara. Dari situ, mereka berpindah lagi ke timur laut dan merombak hutan untuk berkebun. Lokasi itu, yakni di dekat mata air tepatnya di kaki gunung Mahawu. Pertimbangan mereka menetap di situ, oleh karena tanahnya sangat subur.
Suatu ketika, Imam Karema memanjatkan doa kepada Empung Wailan Wangko (Allah Yang Maha Kaya dan Maha Besar). Maka berdasarkan suara burung, Karema mendapat tanda yang tidak bagus. Artinya Allah tidak berkenan untuk mereka tinggal di situ. Lalu Imam Karema mengatakan kepada Ratu Sumilang dan para pengikutnya, kalimat “Kinelongan”, yang artinya tidak diperkenankan. Kinelongan asal katanya Kelong. Oleh sebab itu mata air di tempat itu dinamai “Kelong”. Dua anak sungai Kelong saat ini melalui dua jembatan di Jalan Raya Negeri Kakaskasen Kota Tomohon, yaitu Jembatan Kelong Satu dan Jembatan Kelong Dua. Air sungai Kelong Satu dan kelong Dua mengalir dan menjadi satu di utara lalu bertemu dengan sungai air panas di kaki gunung Lokon kemudian menjadi satu lagi sebagai sungai besar, yakni sungai disebelah utara Negeri Kinilow Kota Tomohon.
Ratu Sumilang dan Imam Karema, akhirnya berselisih. Ratu Sumilang bersikeras untuk tetap menetap ditempat itu karena tidak percaya terhadap pertanda suara burung, namun Imam Karema berprinsip mengikuti petunjuk Allah lewat pertanda suara burung agar berpindah dari tempat itu. Kemudian Imam Karema dan anaknya Lumimuut kembali ke lokasi di dekat mata air Wailan suatu tempat yang agak tinggi di kaki gunung Lokon sebelah tenggara.
Tiba-tiba gunung Lokon dan gunung Mahawu sama-sama meletus. Gunung Lokon memuntahkan dan melontarkan batu-batu besar sedangkan gunung Mahawu mengeluarkan air dengan lumpur panas sehingga terjadi ampuhan diantara gunung Lokon dan gunung Mahawu.
Karema dan anaknya Lumimuut melihat ke arah timur tenggara, maka dilihatnya oleh kedua perempuan itu puncak gunung seperti bulung ayam terletak diatas permukaan air ampuhan itu. Maka dinamainya gunung itu dengan nama Masarang, yakni dari asal kata nima’asar an sarang yang artinya menyerupai bulung ayam.
Karema dan Lumimuut berniat kesana apabila air ampuhan itu telah surut untuk mengetahui nasib Ratu Sumilang dan pengikutnya. Ternyata Karema dan Lumimuut mendapati Ratu Sumilang bersama para pengikutnya telah meninggal semua, sehingga tinggallah Karema dan Lumimuut yang masih hidup ketika itu di tanah Malesung.
Waktu Karema dan Lumimuut mencari-cari mungkin masih ada orang lainnya yang masih hidup; karena kelelahan dan di kotori oleh debu, maka Lumimuut pergi ke mata air lalu membuka kainnya dan diletakkan diatas sebuah batu kemudian mandi.
Tidak disadari oleh Lumimuut, ternyata ditempat itu tepatnya diatas bukit sebelah selatan mata air ada orang yang melihat-lihat Lumimuut mandi. Orang itu bernama Sumendap yang telah datang dari sebelah selatan bersama para pengiringnya. Sumendap ini adalah seorang Raja. Maka Sumendap menyuruh anak buahnya untuk mengambil kain milik Lumimuut yang diletakkan diatas batu itu. Selesai mandi, Lumimuut mencari-cari kainnya; sangkaannya kainnya itu telah hanyut terbawa air. Maka Lumimuut mengejar kainnya; dikatakan dalam bahasa Tombulu “si Lumimuut melele’ umbuyangna”. Tetapi Lumimuut tidak juga mendapati kainnya. Maka Dia pun pulang berlari-lari dengan telanjang kepada Karema Ibunya, memberitahukan bahwa kainnya sudah hilang. Karema pun marah lalu disuruhnya anak itu untuk mencari kainnya sampai dapat. Lumimuut kembali ke mata air, namun kainnya tidak juga didapatinya. Karena kelelahan mencari kainnya, maka duduklah Dia diatas batu yang tadinya diletakkan kainnya itu, lalu Dia menangis tersedu-sedu dengan nyaring.
Raja Sumendap mendengar suara tangisan Lumimuut, sehingga Dia merasa iba hatinya mendengar Lumimuut menangis. Lalu Raja Sumendap menyuruh anak buahnya untuk mengembalikan kain kepunyaan Lumimuut serta pakaian dan perhiasan yang bagus-bagus.
Kemudian anak buah Raja Sumendap membawa Lumimuut menghadap Raja mereka yang berada diatas bukit. Maka Lumimuut menjadi Istri Raja Sumendap. Perlu dicatat bahwa mata air dan sungai tempat Lumimuut mengejar kainnya dinamai “Lembuyang” dari pada kata “Melele’ umbuyang” yang artinya mengejar kain. Arti lainnya, “Lele’ umbuyang” yakni karena kain maka Lumimuut diambil oleh Raja Sumendap menjadi Istrinya.
Oleh karena Lumimuut di jadikan Istrinya Raja Sumendap, maka Lumimuut pun mengandung. Namun belum juga lahir anaknya, Raja Sumendap telah berjalan pulang kembali ke selatan dan tidak kembali lagi. Sumendap tidak memberitahukan kepada Lumimuut dan Karema kalau Dia pergi kemana.
Setelah anak Lumimuut lahir, maka Lumimuut bertanya kepada Karema Ibunya : “Apakah nama anak ini ?”. Karema mengatakan : “Oleh sebab bapaknya hanya sepeti angin datangnya lalu pergi dan tidak kelihatan lagi karena tidak pulang, maka anak itu Saya namai “Touareghes” yang artinya “Orang dari Angin”. Dalam keseharian nama Touareghes dipendekkan menjadi “Toar”.
Pada keliling tempat Toar lahir dilepaskan suweng, yaitu kain tua yang dicarik dan dipintak dibuat seperti tali dilepaskan di atas batu-batu lalu dipasang api sehingga berasap menjadi seperti obat yang berbau rangsang sehingga nyamuk tidak mau mendekat. Ditempat itu batu-batunya hingga sekarang dikumpul menjadi peringatan dan ditaruh tawa’ang (lenjuang) disekelilingnya lalu dinamai Pahsuwengan, artinya tempat meletakkan suweng pertama waktu manusia pertama disini lahir.
Bukti Batu Pahsuwengan itu ada di atas bukit sebelah timur halaman Universitas Kristen Indonesia (UKI) Kota Tomohon sekarang. Dan disebelah selatan mata air Lembuyang di kaki gunung Rumengan, yaitu di Tu’urz in tana’ Wulur Mahatus, artinya pangkal tanah pegunungan beratus-ratus jauh ke selatan di hitung mulai dari gunung Rumengan memanjang ke selatan menjadi pegunungan yang banyak puncaknya seolah-olah beratus-ratus kelihatan dari Malesung. Tanah Malesung, yaitu gunung Lokon dan Empung bersama-sama nima’asar a lesung, artinya menyerupai lesung kelihatan dari bukit Pahsuwengan.
Dataran di kaki bukit Pahsuwengan menjadi tempat pertemuan seluruh rakyat dengan Pemerintah dan Pemimpin Agama khalayak. Dekat batu Pahsuwengan, yaitu pada sebelah timur laut adalah batu besar yang digarisi dari atas sampai ke tanah dinamai Watu Tu’urz in tana’ Wulur Mahatus yang garisnya menunjukkan jalan Karema dan Lumimuut dari Mahwatu Tu’urz in tana’ Malesung sampai ke Tu’urz in tana’ Wulur Mahatus. Dekat batu bergaris sampai ke tanah, itulah tempat Lumimuut berdiri waktu Dia diantar menjadi istri Raja Sumendap. Disitulah juga Lumimuut melahirkan anaknya yang dinamai oleh Karema “Touareghes” yang dipendekkan menjadi “Toar”.
Selanjutnya, setelah Toar lepas susu maka Dia dipelihara oleh neneknya Karema sampai menjadi besar. Kemudian setelah Toar sudah cukup tuanya, maka Karema hendak mencarikan istri tetapi tak ada perempuan lain ketika itu.
Maka Karema pun mengambil sebatang gelegah hutan atau tu’is yang dicabut dengan akarnya, dikeluarkan akarnya dan dibuang daunnya lalu batang gelegah itu dibagi dua sama panjang. Karema bedoa kepada Empung Wailan Wangko (Allah Maha Besar) kalau-kalau Toar diperbolehkan untuk kawin dengan Lumimuut Ibunya karena waktu itu tidak ada perempuan lain selain mereka.
Gelegah itu menjadi kokomba’an atau selaku undian. Karema memberikan gelegah yang telah dijadikan tongkat, satu kepada Lumimuut dan satunya lagi kepada Toar disertai bekal secukupnya untuk beberapa hari. Gelegah yang berpangkal (bekas akar) diberikan kepada Toar, sedangkan gelegah yang tidak berpangkal akar diberikan kepada Lumimuut. Lalu Karema berkata kepada Toar dan Lumimuut : “Kamu berdua berjalan membawa tongkat gelegah ini mengelilingi tanah disebelah utara itu; Toar kearah kiri dan Lumimuut kerah kanan. Kalau Kamu berdua bertemu, pertemukanlah juga tongkat Kamu. Jika kedua tongkat Kamu itu tidak sama panjang lagi, maka itu tandanya Empung Wailan Wangko telah mengizinkan Kamu berdua menjadi suami istri; tetapi kalau masih sama panjang maka tidak boleh Kamu jadi suami istri”.
Maka berjalanlah Toar ke bagian utara pada sebelah timur gunung Lokon mengikuti aliran sungai yang menuju kearah mata air panas di kaki gunung Lokon. Sedangkan Lumimuut berjalan ke utara melalui mata air Kelong di kaki gunung Mahawu sebelah barat, lalu terus berjalan didataran yang dilalui sungai yang mengalir ke barat menuju utara bertemu dengan sungai air panas di kaki gunung Lokon.
Toar dan Lumimuut kemudian berpandang-pandanglah diseberang-menyeberang sungai air dingin yang menuju ke sungai mata air panas. Lumimuut pun yang berada disebelah timur sungai air dingin segera turun menyeberang pergi kepada Toar yang berdiri dekat sungai air panas. Dipertemukan kedua tongkat gelegah yang ada pada tangan mereka masing-masing dan keduanya melihat tongkat itu tidak lagi sama panjang. Keduanya pun menjadi suami istri pada sekitar tahun 1250.
Toar dan Lumimuut tinggal dibawah pohon Kinilow dekat sungai mata air panas di kaki Lokon sebelah timur antara dua sungai yang bertemu disebelah barat Negeri Kinilow sekarang ini. Karema telah mengetahui bahwa dalam satu hari saja Toar dan Lumimuut pasti akan bertemu pada pertemuan segala air yang mengalir ke utara di dataran antara gunung Lokon dan gunung Mahawu.
Toar dan Lumimuut beranak laki-laki sulung yang dinamai Muntu-untu, karena Dia lahir di tempat berbukit-bukit (Wuntu artinya Bukit). Anak kedua juga laki-laki yang dinamai Soputan (Sereputan un tenga’) karena Dia lahir sementara Toar menyembur-menyemburkan sirih pinang dari mulutnya (Mah’sereput un tenga’). Anak yang ketiga seorang perempuan yang dinamai Rumintu’unan karena manusia di tanah Malesung sudah bertiga-tiga seperti batu tutu’unan yaitu batu tungku. Anak keempat perempuan yang dinamai Pariwuan karena sudah ada pengharapan manusia disini akan jadi beribu-ribu banyaknya. Anak kelima perempuan juga yang dinamai Lingkanbene’ artinya ingin akan nasi dari beras padi (Lili ung kan wene’).
Seterusnya Muntu-untu beristrikan Rumintu’unan(sekitar tahun 1280); Soputan beristrikan Pariwuan (sekitar tahun 1280); Lingkanbene bersuamikan orang kulit putih (sekitar tahun 1280) yang pertama datang di tanah Malesung, namanya Aruns Crito yang disebut dalam bahasa Tombulu sebagai Arorz Kerito. Aruns Crito melihat Lingkanbene perempuan muda itu pertama kali ketika Toar sedang membuat garam dekat pohon-pohon mah wenang di pantai Manado sekarang ini.
Muntu-untu dan Rumintu’unan beranak Rumengan dan Pinonto’an Lokon serta Manarengseng; Soputan dan Pariwuan beranak perempuan yang dinamai Kati. Rumengan mengambil Kati menjadi Istrinya yang kemudian dinamai Katiwiey. Maka Rumengan dan Katiwiey beranak perempuan yang dinamai Linow dan beberapa saudaranya. Adik Rumengan yakni Pinonto’an Lokon mengambil Kati itu juga menjadi Istrinya yang kemudian dinamai Katiambilingan serta beranak laki-laki yang dinamai Ahkaimbanua dan lagi seorang laki-laki yang dinamai Singal Pinonto’an.
Rumengan dan Pinonto’an berselisih sebab Kati bersuamikan dua orang yang bersaudara (Kakak dan Adik). Berlututlah mereka berdua di tempat yang sekarang bernama “Pinahwela’an” artinya tempat bergelut; tempat itu dekat dengan kuala mata air panas disebelah barat laut Negeri Kakaskasen sekarang ini. Rumengan akhirnya mengalah dan berpindah membawa anak-anaknya pergi ke gunung yang hingga sekarang dinamai gunung Rumengan.
Bapanya Kati, yakni Soputan berpindah juga karena naknya menjadi pokok perselisihan, lalu dibawanya akan Pariwuan isterinya dan beberapa anaknya bersama-sama dengan Imam Karema neneknya pergi ke selatan bertinggal dekat kaki gunung yang disebut “Kuntung in Wailan Soputan”.
Pada waktu Imam Karema meninggal, semua keturunannya pergi ke sana sambil menangis. Mereka berseru : “O Ka’rima o!” artinya Aduhai Datuk Karema kami menyesal Kau pergi meninggalkan kami.
Sesudah Karema dimakamkan, mereka berkumpul dekat batu yang menjadi tanda pertemuan dan perpisahan. Batu itu ada hingga sekarang ini, yang dikenal dengan sebutan “Watu Pinawetengan” artinya batu perpisahan karena seolah-olah keturunan Karema telah terbagi-bagi lalu berpisah pergi ketempatnya masing-masing di tanah Minahasa termasuk Kota Manado,-

Source: http://manadoinfo01.wordpress.com/
Baca Selengkapnya... - Cerita Rakyat - Toar Lumimuut